Sejarah Dupa
Meskipun tahun keberadaan dupa tidak ditemukan secara pasti namun dari beberapa sumber menyebutkan dupa mengawali keberadaannya mulai dari kawasan Asia, khususnya Asia Timur dan Timur Tengah, akan tetapi saat itu penggunaan dupa kebanyakan untuk mengharumkan ruangan. Para raja dari dinasti Xia di daratan China (sekitar 2000 SM sampai 1600 SM) memanfaatkan aroma yang keluar dari pembakaran parutan, atau serpihan atau apapun namanya terserah deeeh, bingung cari istilahnya, kayu cendana untuk
mengharumkan ruangan istana.
Pada masa dinasti Shang berkuasa di darat China (tahun 1600 SM sampai 1046 SM), terdapat dupa yang berfungsi sebagai menunjuk waktu, itulah cikal bakal bentuk dupa yang berkembang hingga menjadi bentuk dupa yang sekarang ini dapat kita lihat. Pada masa itu kayu cendana dibuat menjadi berbentuk tabung dengan diameter kecil dan berukuran panjang. Satu batang dupa yang habis terbakar menandakan satu masa (dua jam untuk ukuran waktu modern ini).
Pada dinasti Sung di daratan China (tahun 960 sampai 1279 maisehi)
dupa wangi sudah sangat populer digunakan untuk ritual keagamaan, begitu juga raja-raja dari daerah Timur Tengah yang selain menggunakan dupa wangi untuk mengharumkan ruangan juga menggunakan dupa wangi untuk mengusir roh-roh jahat, dan sebagai persembahan kepada dewa. Di masa itu pula dupa wangi sudah populer di kalangan bangsa eropa, seperti bangsa Yunani dan Romawi. Saat itu di Jepang dupa wangi juga banyak digunakan oleh raja dan bangsawan Jepang. Bahkan kala itu ada mitos di Jepang bahwa ksatria yang menggunakan baju perang dengan bahan dupa akan selalu menang dalam setiap pertempuran.
Beberapa abad kemudian produsen dupa wangi sudah menciptakan bentuk baru dupa yang seperti dapat terlihat pada masa sekarang ini. Bahan dupa, seperti kayu cendana atau gaharu dan lainnnya, dihaluskan hingga menjadi tepung lalu digabung dengan beberapa bahan perekat alami, seperti getah pohon cemara, madu, dan sebagainya, lalu ditempelkan pada sebatang lidi bambu. Bahan dasar dupa saat itu juga sudah sangat bervariasi, di China, Jepang dan Vietnam masih didominasi oleh kayu cendana dan gaharu, di daerah Tibet, Nepal dan sekitarnya banyak menggunakan kayu manis, cengkeh
dan beberapa jenis bunga, sedangkan di Timur Tengah dan Eropa bahan dasar yang banyak dipakai adalah kemenyan, dan di benua Amerika Latin banyak mengunakan pohon cedar sebagai bahan pokok dupa wangi. Penyebaran dupa wangi sangat dipengaruhi oleh imigrasi yang terjadi, dimana penduduk pendatang memperkenalkan secara tidak langsung dupa wangi kepada penduduk lokal atau penduduk asli setempat.
Saat tuntutan pemenuhan permintaan dupa wangi yang sangat besar esens atau bibit parmun mulai digunakan sebagai pengganti kayu
cendana, kemenyan dan lainnya. Bahan bibit parfum yang saat itu banyak digunakan adalah bunga-bungaan (kecuali Bunga Citra Lestari, yaa), jeruk dan lemon, serta beberapa jenis rempah-rempah. Dari masa ke masa bentuk dupa wangi juga mengalami perubahan dan pengembangan, seperti saat menjelang abad ke 19, jepang memperkenalkan dupa wangi dengan bentuk baru yaitu dupa wangi berbentuk cone atau kerucut, biasanya saya menyebutnya dengan dupa stangi.
Sekarang ini dupa telah banyak mengalami perubahan, mulai dari corak, aroma serta bahan-bahan
pembuatannya. Yaaah, wajar deeeh, zaman serba cepat ini mana mungkin produsen bisa menunggu bahan baku alami yang prosesnya harus memakan waktu lama. Bahan kimia seperti bibit pewangi, pewarna dan beberapa macam lagi sudah dipakai bahan kimiawi. Itulah sekilas riwayat alias sejarah singkat dupa wangi.
Meskipun tahun keberadaan dupa tidak ditemukan secara pasti namun dari beberapa sumber menyebutkan dupa mengawali keberadaannya mulai dari kawasan Asia, khususnya Asia Timur dan Timur Tengah, akan tetapi saat itu penggunaan dupa kebanyakan untuk mengharumkan ruangan. Para raja dari dinasti Xia di daratan China (sekitar 2000 SM sampai 1600 SM) memanfaatkan aroma yang keluar dari pembakaran parutan, atau serpihan atau apapun namanya terserah deeeh, bingung cari istilahnya, kayu cendana untuk
mengharumkan ruangan istana.
Pada masa dinasti Shang berkuasa di darat China (tahun 1600 SM sampai 1046 SM), terdapat dupa yang berfungsi sebagai menunjuk waktu, itulah cikal bakal bentuk dupa yang berkembang hingga menjadi bentuk dupa yang sekarang ini dapat kita lihat. Pada masa itu kayu cendana dibuat menjadi berbentuk tabung dengan diameter kecil dan berukuran panjang. Satu batang dupa yang habis terbakar menandakan satu masa (dua jam untuk ukuran waktu modern ini).
Pada dinasti Sung di daratan China (tahun 960 sampai 1279 maisehi)
dupa wangi sudah sangat populer digunakan untuk ritual keagamaan, begitu juga raja-raja dari daerah Timur Tengah yang selain menggunakan dupa wangi untuk mengharumkan ruangan juga menggunakan dupa wangi untuk mengusir roh-roh jahat, dan sebagai persembahan kepada dewa. Di masa itu pula dupa wangi sudah populer di kalangan bangsa eropa, seperti bangsa Yunani dan Romawi. Saat itu di Jepang dupa wangi juga banyak digunakan oleh raja dan bangsawan Jepang. Bahkan kala itu ada mitos di Jepang bahwa ksatria yang menggunakan baju perang dengan bahan dupa akan selalu menang dalam setiap pertempuran.
Beberapa abad kemudian produsen dupa wangi sudah menciptakan bentuk baru dupa yang seperti dapat terlihat pada masa sekarang ini. Bahan dupa, seperti kayu cendana atau gaharu dan lainnnya, dihaluskan hingga menjadi tepung lalu digabung dengan beberapa bahan perekat alami, seperti getah pohon cemara, madu, dan sebagainya, lalu ditempelkan pada sebatang lidi bambu. Bahan dasar dupa saat itu juga sudah sangat bervariasi, di China, Jepang dan Vietnam masih didominasi oleh kayu cendana dan gaharu, di daerah Tibet, Nepal dan sekitarnya banyak menggunakan kayu manis, cengkeh
dan beberapa jenis bunga, sedangkan di Timur Tengah dan Eropa bahan dasar yang banyak dipakai adalah kemenyan, dan di benua Amerika Latin banyak mengunakan pohon cedar sebagai bahan pokok dupa wangi. Penyebaran dupa wangi sangat dipengaruhi oleh imigrasi yang terjadi, dimana penduduk pendatang memperkenalkan secara tidak langsung dupa wangi kepada penduduk lokal atau penduduk asli setempat.
Saat tuntutan pemenuhan permintaan dupa wangi yang sangat besar esens atau bibit parmun mulai digunakan sebagai pengganti kayu
cendana, kemenyan dan lainnya. Bahan bibit parfum yang saat itu banyak digunakan adalah bunga-bungaan (kecuali Bunga Citra Lestari, yaa), jeruk dan lemon, serta beberapa jenis rempah-rempah. Dari masa ke masa bentuk dupa wangi juga mengalami perubahan dan pengembangan, seperti saat menjelang abad ke 19, jepang memperkenalkan dupa wangi dengan bentuk baru yaitu dupa wangi berbentuk cone atau kerucut, biasanya saya menyebutnya dengan dupa stangi.
Sekarang ini dupa telah banyak mengalami perubahan, mulai dari corak, aroma serta bahan-bahan
pembuatannya. Yaaah, wajar deeeh, zaman serba cepat ini mana mungkin produsen bisa menunggu bahan baku alami yang prosesnya harus memakan waktu lama. Bahan kimia seperti bibit pewangi, pewarna dan beberapa macam lagi sudah dipakai bahan kimiawi. Itulah sekilas riwayat alias sejarah singkat dupa wangi.